Sang Nahkoda (4)
Abdurrahman Wahid
Kiai Haji
Abdurrahman Wahid, akrab dipanggil Gus Dur lahir di Jombang,
Jawa Timur,
7 September
1940 adalah tokoh Muslim Indonesia
dan pemimpin politik yang menjadi Presiden Indonesia yang keempat dari tahun 1999
hingga 2001. Ia menggantikan Presiden B. J. Habibie
setelah dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat
hasil Pemilihan Umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah Indonesia 1999.
Masa kepresidenan Abdurrahman Wahid dimulai pada 20 Oktober
1999 dan berakhir pada
Sidang Istimewa MPR
pada tahun 2001. Tepat 23 Juli 2001, kepemimpinannya digantikan oleh Megawati Soekarnoputri setelah mandatnya
dicabut oleh MPR.
Salah satu
dampak jatuhnya Soeharto adalah pembentukan partai politik baru. Di bawah rezim
Soeharto, hanya terdapat tiga partai politik: Golkar, PPP dan PDI. Dengan
jatuhnya Soeharto, partai-partai politik mulai terbentuk, dengan yang paling
penting adalah Partai Amanat Nasional (PAN) bentukan
Amien dan Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan
(PDI-P) bentukan Megawati. Pada Juni 1998, banyak orang dari komunitas NU
meminta Gus Dur membentuk partai politik baru. Ia tidak langsung
mengimplementasikan ide tersebut. Namun pada Juli 1998 Gus Dur mulai menanggapi
ide tersebut karena mendirikan partai politik merupakan satu-satunya cara untuk
melawan Golkar dalam pemilihan umum. Wahid menyetujui pembentukan Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB) dan menjadi
Ketua Dewan Penasehat dengan Matori Abdul Djalil sebagai ketua partai. Meskipun
partai tersebut didominasi anggota NU, Gus Dur menyatakan bahwa partai tersebut
terbuka untuk semua orang.
Pada
November 1998, dalam pertemuan di Ciganjur, Gus Dur, bersama dengan Megawati,
Amien, dan Sultan Hamengkubuwono X kembali menyatakan komitmen
mereka untuk reformasi. Pada 7 Februari 1999, PKB secara resmi menyatakan Gus
Dur sebagai kandidat pemilihan presiden.
Pada Juni
1999, partai PKB ikut serta dalam arena pemilu legislatif. PKB memenangkan 12%
suara dengan PDI-P memenangkan 33% suara. Dengan kemenangan partainya, Megawati
diprediksi akan memenangkan pemilihan presiden pada
Sidang Umum MPR. Namun, PDI-P tidak memiliki kursi mayoritas penuh, sehingga
membentuk aliansi dengan PKB. Pada Juli, Amien Rais
membentuk Poros Tengah, koalisi partai-partai Muslim. Poros Tengah mulai menominasikan Gus Dur
sebagai kandidat ketiga pada pemilihan presiden dan komitmen PKB terhadap PDI-P
mulai berubah.
Pada 7
Oktober 1999, Amien dan Poros Tengah secara resmi menyatakan Abdurrahman Wahid
sebagai calon presiden. Pada 19 Oktober 1999, MPR menolak
pidato pertanggungjawaban Habibie dan ia mundur dari pemilihan presiden.
Beberapa saat kemudian, Akbar Tanjung, ketua Golkar dan ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan
Golkar akan mendukung Gus Dur. Pada 20 Oktober 1999, MPR kembali berkumpul dan
mulai memilih presiden baru. Abdurrahman Wahid kemudian terpilih sebagai
Presiden Indonesia ke-empat dengan 373 suara, sedangkan Megawati
hanya 313 suara.
Tidak senang
karena calon mereka gagal memenangkan pemilihan, pendukung Megawati mengamuk
dan Gus Dur menyadari bahwa Megawati harus terpilih sebagai wakil presiden.
Setelah meyakinkan jendral Wiranto untuk tidak ikut serta dalam pemilihan wakil presiden
dan membuat PKB mendukung Megawati, Gus Dur pun berhasil meyakinkan Megawati
untuk ikut serta. Pada 21 Oktober 1999, Megawati ikut serta dalam pemilihan
wakil presiden dan mengalahkan Hamzah Haz dari PPP.
Kabinet
pertama Gus Dur, Kabinet Persatuan Nasional, adalah kabinet
koalisi yang meliputi anggota berbagai partai politik: PDI-P, PKB, Golkar, PPP,
PAN, dan Partai Keadilan (PK). Non-partisan dan TNI juga ada dalam kabinet
tersebut. Wahid kemudian mulai melakukan dua reformasi pemerintahan. Reformasi
pertama adalah membubarkan Departemen Penerangan, senjata utama rezim Soeharto
dalam menguasai media. Reformasi kedua adalah membubarkan Departemen Sosial
yang korup.
Setelah satu
bulan berada dalam Kabinet Persatuan Nasional, Menteri Menteri Koordinator
Pengentasan Kemiskinan (Menko Taskin) Hamzah Haz mengumumkan pengunduran
dirinya pada bulan November. Muncul dugaan bahwa pengunduran dirinya
diakibatkan karena Gus Dur menuduh beberapa anggota kabinet melakukan korupsi
selama ia masih berada di Amerika Serikat. Beberapa menduga bahwa pengunduran
diri Hamzah Haz diakibatkan karena ketidaksenangannya atas pendekatan Gus Dur
dengan Israel.
Salah satu rencana Gus
Dur adalah memberikan Aceh referendum. Namun referendum ini menentukan otonomi
dan bukan kemerdekaan seperti referendum Timor Timur.
Gus Dur juga ingin mengadopsi pendekatan yang lebih lembut terhadap Aceh dengan
mengurangi jumlah personel militer di Negeri Serambi Mekkah tersebut. Pada 30
Desember, Gus Dur mengunjungi Jayapura di provinsi Irian Jaya. Selama kunjungannya,
Abdurrahman Wahid berhasil meyakinkan pemimpin-pemimpin Papua bahwa ia
mendorong penggunaan nama Papua.
Ketika Gus
Dur berkelana ke Eropa pada bulan Februari 2000, ia mulai meminta Jendral Wiranto
mengundurkan diri dari jabatan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan.
Gus Dur melihat Wiranto sebagai halangan terhadap rencana reformasi militer dan
juga karena tuduhan pelanggaran HAM di Timor Timur terhadap Wiranto.
Ketika Gus
Dur kembali ke Jakarta, Wiranto berbicara dengannya dan berhasil meyakinkan Gus
Dur agar tidak menggantikannya. Namun, Gus Dur kemudian mengubah pikirannya dan
memintanya mundur. Pada April 2000, Gus Dur memecat Menteri Negara
Perindustrian dan Perdagangan Jusuf Kalla dan Menteri Negara BUMN Laksamana
Sukardi. Alasan yang diberikan Wahid adalah bahwa keduanya terlibat
dalam kasus korupsi, meskipun Gus Dur tidak pernah memberikan bukti yang kuat.
Hal ini memperburuk hubungan Gus Dur dengan Golkar dan PDI-P.
Pada Maret
2000, pemerintahan Gus Dur mulai melakukan negosiasi dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dua bulan kemudian,
pemerintah menandatangani nota
kesepahaman dengan GAM hingga awal tahun 2001, saat kedua
penandatangan akan melanggar persetujuan. Gus Dur juga mengusulkan agar TAP
MPRS No. XXIX/MPR/1966 yang melarang Marxisme-Leninisme dicabut.
Ia juga
berusaha membuka hubungan dengan Israel, yang menyebabkan kemarahan pada
kelompok Muslim Indonesia. Isu ini diangkat dalam pidato Ribbhi Awad, duta
besar Palestina untuk Indonesia, kepada parlemen Palestina tahun 2000. Isu lain
yang muncul adalah keanggotaan Gus Dur pada Yayasan Shimon Peres.
Baik Gus Dur dan menteri luar negerinya Alwi Shihab
menentang penggambaran Presiden Indonesia yang tidak tepat, dan Alwi meminta
agar Awad, duta besar Palestina untuk Indonesia, diganti.
Dalam usaha
mereformasi militer dan mengeluarkan militer dari ruang sosial-politik, Gus Dur
menemukan sekutu, yaitu Agus Wirahadikusumah, yang diangkatnya
menjadi Panglima Kostrad
pada bulan Maret. Pada Juli 2000, Agus mulai membuka skandal yang melibatkan Dharma
Putra, yayasan yang memiliki hubungan dengan Kostrad. Melalui Megawati, anggota
TNI mulai menekan Wahid untuk mencopot jabatan Agus. Gus Dur mengikuti tekanan
tersebut, tetapi berencana menunjuk Agus sebagai Kepala Staf Angkatan Darat.
Petinggi TNI merespon dengan mengancam untuk pensiun, sehingga Gus Dur kembali
harus menurut pada tekanan.
Hubungan Gus
Dur dengan TNI semakin memburuk ketika Laskar Jihad tiba di Maluku dan
dipersenjatai oleh TNI. Laskar Jihad pergi ke Maluku untuk membantu orang
Muslim dalam konflik dengan orang Kristen. Wahid meminta TNI menghentikan aksi
Laskar Jihad, namun mereka tetap berhasil mencapai Maluku dan dipersenjatai
oleh senjata TNI.
Muncul pula
dua skandal pada tahun 2000, yaitu skandal Buloggate dan Bruneigate. Pada bulan
Mei, Badan Urusan Logistik (Bulog) melaporkan
bahwa $4 juta menghilang dari persediaan kas Bulog. Tukang pijit pribadi Gus
Dur mengklaim bahwa ia dikirim oleh Gus Dur ke Bulog untuk mengambil uang.
Meskipun uang berhasil dikembalikan, musuh Gus Dur menuduhnya terlibat dalam
skandal ini. Skandal ini disebut skandal Buloggate. Pada waktu yang sama, Gus
Dur juga dituduh menyimpan uang $2 juta untuk dirinya sendiri. Uang itu
merupakan sumbangan dari Sultan Brunei untuk membantu di Aceh. Namun, Gus Dur
gagal mempertanggungjawabkan dana tersebut. Skandal ini disebut skandal
Bruneigate.
Sidang Umum
MPR 2000 hampir tiba, popularitas Gus Dur masih tinggi. Sekutu Wahid seperti
Megawati, Akbar dan Amien masih mendukungnya meskipun terjadi berbagai skandal
dan pencopotan menteri. Pada Sidang Umum MPR, pidato Gus Dur diterima oleh
mayoritas anggota MPR. Selama pidato, Wahid menyadari kelemahannya sebagai
pemimpin dan menyatakan ia akan mewakilkan sebagian tugas. Anggota MPR setuju dan mengusulkan agar
Megawati menerima tugas tersebut. Pada awalnya MPR berencana menerapkan usulan
ini sebagai TAP MPR, akan tetapi Keputusan Presiden dianggap sudah cukup. Pada
23 Agustus, Gus Dur mengumumkan kabinet baru meskipun Megawati ingin pengumuman
ditunda. Megawati menunjukan ketidaksenangannya dengan tidak hadir pada
pengumuman kabinet. Kabinet baru lebih kecil dan meliputi lebih banyak
non-partisan. Tidak terdapat anggota Golkar dalam kabinet baru Gus Dur.
Pada
September, Gus Dur menyatakan darurat
militer di Maluku karena kondisi di sana semakin memburuk. Pada saat
itu semakin jelas bahwa Laskar Jihad didukung oleh anggota TNI dan juga
kemungkinan didanai oleh Fuad Bawazier, menteri keuangan terakhir Soeharto.
Pada bulan yang sama, bendera bintang kejora berkibar di Papua Barat. Gus Dur
memperbolehkan bendera bintang kejora dikibarkan asalkan berada di bawah
bendera Indonesia. Ia dikritik oleh Megawati dan Akbar karena hal ini. Pada 24
Desember 2000, terjadi serangan bom terhadap gereja-gereja di
Jakarta dan delapan kota lainnya di seluruh Indonesia.
Pada akhir
tahun 2000, terdapat banyak elit politik yang kecewa dengan Abdurrahman Wahid.
Orang yang paling menunjukan kekecewaannya adalah Amien. Ia menyatakan kecewa
mendukung Gus Dur sebagai presiden tahun lalu. Amien juga berusaha mengumpulkan
oposisi dengan meyakinkan Megawati dan Gus Dur untuk merenggangkan otot politik
mereka. Megawati melindungi Gus Dur, sementara Akbar menunggu pemilihan umum
legislatif tahun 2004. Pada akhir November, 151 anggota DPR menandatangani
petisi yang meminta pemakzulan Gus Dur.
Pada Januari
2001, Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru
Imlek menjadi hari libur nasional.
Tindakan ini diikuti dengan pencabutan larangan penggunaan huruf Tionghoa. Gus
Dur lalu mengunjungi Afrika Utara dan juga Arab Saudi untuk naik haji. Abdurrahman Wahid melakukan kunjungan
terakhirnya ke luar negeri sebagai presiden pada Juni 2001 ketika ia
mengunjungi Australia.
Pada
pertemuan dengan rektor-rektor universitas pada 27 Januari 2001, Gus Dur
menyatakan kemungkinan Indonesia masuk kedalam anarkisme.
Ia lalu mengusulkan pembubaran DPR jika hal tersebut terjadi. Pertemuan
tersebut menambah gerakan anti-Wahid. Pada 1 Februari, DPR bertemu untuk
mengeluarkan nota terhadap Gus Dur. Nota tersebut berisi diadakannya Sidang
Khusus MPR dimana pemakzulan Presiden dapat dilakukan. Anggota PKB hanya bisa walk
out dalam menanggapi hal ini. Nota ini juga menimbulkan protes di antara
NU. Di Jawa Timur, anggota NU melakukan protes di sekitar kantor regional
Golkar. Di Jakarta, oposisi Gus Dur turun menuduhnya mendorong protes tersebut.
Gus Dur membantah dan pergi untuk berbicara dengan demonstran di Pasuruan.
Namun, demonstran NU terus menunjukkan dukungan mereka kepada Gus Dur dan pada
bulan April mengumumkan bahwa mereka siap untuk mempertahankan Gus Dur sebagai
presiden hingga mati.
Pada bulan
Maret, Gus Dur mencoba membalas oposisi dengan melawan disiden pada kabinetnya.
Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra dicopot dari kabinet
karena ia mengumumkan permintaan agar Gus Dur mundur. Menteri Kehutanan Nurmahmudi
Ismail juga dicopot dengan alasan berbeda visi dengan Presiden,
berlawanan dalam pengambilan kebijakan, dan diangap tidak dapat mengendalikan Partai
Keadilan, yang pada saat itu massanya ikut dalam aksi menuntut Gus
Dur mundur. Dalam menanggapi hal ini, Megawati mulai menjaga jarak dan tidak
hadir dalam inaugurasi penggantian menteri. Pada 30 April, DPR mengeluarkan
nota kedua dan meminta diadakannya Sidang Istimewa MPR pada 1 Agustus.
Gus Dur
mulai putus asa dan meminta Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan Keamanan
(Menko Polsoskam) Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyatakan
keadaan darurat. Yudhoyono menolak dan Gus Dur memberhentikannya dari
jabatannya beserta empat menteri lainnya dalam reshuffle kabinet pada
tanggal 1 Juli 2001. Akhirnya pada 20 Juli, Amien Rais menyatakan bahwa Sidang
Istimewa MPR akan dimajukan pada 23 Juli. TNI menurunkan 40.000 tentara di
Jakarta dan juga menurunkan tank yang menunjuk ke arah Istana Negara sebagai
bentuk penunjukan kekuatan. Gus Dur kemudian mengumumkan pemberlakuan dekret yang
berisi (1) pembubaran MPR/DPR, (2) mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat
dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan (3) membekukan Partai Golkar
sebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR. Namun dekret tersebut
tidak memperoleh dukungan dan pada 23 Juli, MPR secara resmi memakzulkan Gus
Dur dan menggantikannya dengan Megawati Sukarnoputri. Abdurrahman Wahid
terus bersikeras bahwa ia adalah presiden dan tetap tinggal di Istana Negara
selama beberapa hari, namun akhirnya pada tanggal 25 Juli ia pergi ke Amerika
Serikat karena masalah kesehatan.
0 komentar:
Posting Komentar