Sang Nahkoda (2)
SOEHARTO
Jend. Besar TNI Purn. H Muhammad Soeharto ialah
presiden ke dua Indonesia. Ia lahir pada tanggal 8 Juni 1921 di Bantul, Yogjakarta dan wafat pada , 27 Januari 2008 di Jakarta. Sebelum
menjadi presiden, Soeharto adalah pemimpin militer pada masa pendudukan Jepang
dan Belanda, dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal. Setelah Gerakan
30 September, Soeharto menyatakan bahwa PKI adalah
pihak yang bertanggung jawab dan memimpin operasi untuk menumpasnya. Operasi
ini menewaskan lebih dari 500.000 jiwa. Di dunia internasional, terutama
di Dunia Barat, Soeharto sering dirujuk dengan sebutan populer "The
Smiling General".
Pada
pagi hari 1 Oktober 1965, beberapa pasukan pengawal
Kepresidenan, Tjakrabirawa di bawah Letnan Kolonel Untung Syamsuri bersama
pasukan lain menculik dan membunuh enam orang jendral. Pada peristiwa itu
Jendral A.H. Nasution yang menjabat sebagai Menteri
Koordinator bidang Hankam dan Kepala Staf Angkatan Bersenjata berhasil lolos.
Satu yang terselamatkan, yang tidak menjadi target dari percobaan kudeta adalah
Mayor Jendral Soeharto, meski menjadi sebuah pertanyaan apakah Soeharto ini
terlibat atau tidak dalam peristiwa yang dikenal sebagai G-30-S itu. Beberapa sumber mengatakan,
Pasukan Tjakrabirawa yang terlibat itu menyatakan bahwa mereka mencoba
menghentikan kudeta militer yang didukung oleh CIA yang direncanakan untuk menyingkirkan
Presiden Soekarno dari kekuasaan pada "Hari ABRI", 5 Oktober 1965
oleh badan militer yang lebih dikenal sebagai Dewan Jenderal.
Peristiwa
ini segera ditanggapi oleh Mayjen Soeharto untuk segera mengamankan Jakarta,
menurut versi resmi sejarah pada masa Orde Baru,
terutama setelah mendapatkan kabar bahwa Letjen Ahmad Yani, Menteri / Panglima
Angkatan Darat tidak diketahui keberadaannya. Hal ini sebenarnya berdasarkan
kebiasaan yang berlaku di Angkatan Darat bahwa bila Panglima Angkatan Darat
berhalangan hadir, maka Panglima Kostrad yang menjalankan tugasnya. Tindakan
ini diperkuat dengan turunnya Surat Perintah yang dikenal sebagai Surat
Perintah 11 Maret (Supersemar) dari Presiden Soekarno yang
memberikan kewenangan dan mandat kepada Soeharto untuk mengambil segala
tindakan untuk memulihkan keamanan dan ketertiban. Langkah yang diambil
Soeharto adalah segera membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) sekalipun
sempat ditentang Presiden Soekarno, penangkapan sejumlah menteri yang diduga terlibat G-30-S (Gerakan 30 September).
Tindakan ini menurut pengamat internasional dikatakan sebagai langkah
menyingkirkan Angkatan Bersenjata Indonesia yang pro-Soekarno dan pro-Komunis
yang justru dialamatkan kepada Angkatan Udara Republik Indonesia di mana
jajaran pimpinannya khususnya Panglima Angkatan Udara Laksamana Udara Omar Dhani yang dinilai pro Soekarno dan Komunis,
dan akhirnya memaksa Soekarno untuk menyerahkan kekuasaan eksekutif.
Tindakan pembersihan dari unsur-unsur komunis (PKI) membawa tindakan penghukuman mati
anggota Partai Komunis di Indonesia yang menyebabkan pembunuhan sistematis
sekitar 500 ribu "tersangka komunis", kebanyakan warga sipil, dan kekerasan
terhadap minoritas Tionghoa Indonesia. Soeharto dikatakan menerima dukungan dari CIA dalam penumpasan komunis.
Setelah
dilantik sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat pada 14 Oktober 1965, ia segera membubarkan PKI dan
ormas-ormasnya. Tepat 11 Maret 1966, dia menerima Surat Perintah
Sebelas Maret (Supersemar) dari Presiden Soekarno
melalui tiga jenderal, yaitu Basuki Rachmat, Amir Machmud, dan M Yusuf. Isi
Supersemar adalah memberikan kekuasaan kepada Soeharto untuk dan atas nama
Presiden/Panglima Tertinggi/Panglima Besar Revolusi agar mengambil tindakan
yang dianggap perlu demi terjaminnya keamanan, ketenangan, serta kestabilan
jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi. Sehari kemudian, 12 Maret 1966,
Menpangad Letjen Soeharto membubarkan PKI dan menyatakan sebagai partai
terlarang di Indonesia.
Karena
situasi politik yang memburuk setelah meletusnya G-30-S/PKI, Sidang Istimewa
MPRS pada Maret 1967, Soeharto yang telah menerima kenaikan pangkat sebagai
jenderal bintang empat pada 1 Juli 1966 ditunjuk sebagai pejabat presiden
berdasarkan Tap MPRS No XXXIII/1967 pada 22 Februari 1967. Selaku pemegang Ketetapan MPRS No
XXX/1967, Soeharto kemudian menerima penyerahan kekuasaan pemerintahan dari
Presiden Soekarno. Melalui Sidang Istimewa MPRS, pada 7 Maret 1967, Soeharto ditunjuk sebagai pejabat
presiden sampai terpilihnya presiden oleh MPR hasil pemilihan umum. Jenderal
Soeharto ditetapkan sebagai pejabat presiden pada 12 Maret 1967 setelah pertanggungjawaban Presiden
Soekarno (NAWAKSARA) ditolak MPRS. Kemudian, Soeharto
menjadi presiden sesuai hasil Sidang Umum MPRS (Tap MPRS No XLIV/MPRS/1968)
pada 27 Maret 1968. Mulai saat ini dikenal dengan istilah Orde Baru.
Susunan kabinet yang diumumkan pada 10 Juni 1968 diberi nama Kabinet Pembangunan
"Rencana Pembangunan Lima Tahun" . Ia
dipilih kembali oleh MPR pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.
Ekonomi
Indonesia benar-benar amburadul di pertengahan 1960-an. Soeharto pun kemudian
meminta nasihat dari tim ekonom hasil didikan Barat yang banyak dikenal sebagai
"mafia Berkeley". Tujuan jangka pendek
pemerintahan baru ini adalah mengendalikan inflasi, menstabilkan nilai rupiah,
memperoleh hutang luar negeri, serta mendorong masuknya investasi asing. Dan
untuk satu hal ini, kesuksesan mereka tidak bisa dipungkiri. Peran Sudjono
Humardani sebagai asisten finansial besar artinya dalam
pencapaian ini. Dalam bidang ekonomi juga,
tercatat Indonesia mengalami swasembada beras pada tahun 1984. Namun prestasi itu ternyata tidak
dapat dipertahankan pada tahun-tahun berikutnya. Kemudian kemajuan ekonomi
Indonesia saat itu dianggap sangat signifikan sehingga Indonesia sempat
dimasukkan dalam negara yang mendekati negara-negara Industri Baru bersama dengan Malaysia, Filipina dan Thailand, selain Singapura, Republik Tiongkok, dan Korea Selatan.
Di
bidang politik, Presiden Soeharto melakukan penyatuan partai-partai politik sehingga
pada masa itu dikenal tiga partai politik yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP),Golongan Karya (Golkar)
dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dalam upayanya menyederhanakan
kehidupan berpolitik di Indonesia sebagai akibat dari politik masa presiden
Soekarno yang menggunakan sistem multipartai yang berakibat pada jatuh
bangunnya kabinet dan dianggap penyebab mandeknya pembangunan. Kemudian
dikeluarkannnya UU Politik dan Asas tunggal Pancasila yang mewarnai kehidupan
politik saat itu. Namun dalam perjalanannya, terjadi ketimpangan dalam
kehidupan politik di mana muncullah istilah "mayoritas tunggal" di
mana GOLKAR dijadikan partai utama dan mengebirikan dua parpol lainnya dalam
setiap penyelenggaraan PEMILU. Berbagai ketidakpuasan muncul, namun dapat
diredam oleh sistem pada masa itu.
Seiring
dengan naiknya taraf pendidikan pada masa pemerintahannya karena pertumbuhan
ekonomi, muncullah berbagai kritik dan ketidakpuasan atas ketimpangan
ketimpangan dalam pembangunan. Kesenjangan ekonomi, sosial dan politik
memunculkan kalangan yang tidak puas dan menuntut perbaikan. Kemudian pada masa
pemerintahannya, tercatat muncul peristiwa kekerasan di masyarakat yang umumnya
sarat kepentingan politik, selain memang karena ketidakpuasan dari masyarakat.
Krisis
moneter yang melanda Asia pada tahun 1997 menerpa juga ke Indonesia. Bahkan,
krisis itu menerjang juga sektor krisis ekonomi. Pada 8 Oktober 1997, Presiden
meminta bantuan IMF dan Bank Dunia untuk memperkuat sektor keuangan dan
menyatakan badai pasti berlalu. Presiden minta seluruh rakyat tetap tabah dalam
menghadapi gejolak krisis moneter.
Menghadapi
tuntutan untuk mundur, pada 1 Mei 1998, Soeharto menyatakan bahwa reformasi
akan dipersiapkan mulai tahun 2003. Ketika di Mesir pada 13 Mei 1998, Presiden
Soeharto menyatakan bersedia mundur kalau memang rakyat menghendaki dan tidak
akan mempertahankan kedudukannya dengan kekuatan senjata. Sebelas menteri
bidang ekonomi dan industri (ekuin) Kabinet Pembangunan VII mengundurkan diri
(20 Mei 1998). Krisis moneter dan ekonomi benar-benar menggerogoti sistem
kepemimpinannya. Dampaknya, Soeharto tidak bisa bertahan di pucuk kepemimpinan
negeri.
Hanya
berselang 70 hari setelah diangkat kembali menjadi presiden untuk periode yang
ketujuh kalinya, Soeharto terpaksa mundur dari jabatannya sebagai presiden.
Presiden Soeharto lengser tepat 21 Mei 1998. Tepat pukul 09.00 WIB (Waktu
Indonesia Barat), Soeharto berhenti dari jabatannya sebagai presiden. Layar
kaca televisi saat itu menyiarkan secara langsung detik per detik proses
pengunduran dirinya. Ia merupakan orang
Indonesia terlama dalam jabatannya sebagai presiden. Soeharto kemudian
digantikan oleh wakilnya yaitu B.J. Habibie.
0 komentar:
Posting Komentar